Refleksi Hari Lahir Pancasila 2022, Ferry Liando Beber Sejumlah Persoalan

MANGUNINEWS.COM, Minahasa – Setiap 1 Juni, seluruh komponen bangsa memperingati hari lahirnya Pancasila. Perayaan ini mengandung maksud untuk menghayati sejarah perjuangan bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai dasar dalam bersikap bagi setiap anak bangsa.

Selain itu juga mengingatkan dan melestarikan Pancasila sebagai pemupuk rasa kemanusiaaan dan rasa cinta tanah air sebagai komitmen memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Hal tersebut disampaikan Dr. Ferry Daud Liando, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, saat memaparkan materi dalam disuksi yang digelar oleh Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Minahasa, Rabu (1/6/2022).

Ia menuturkan, jika kita sepakat bahwa Pancasila sebagai instrumen pemersatu, maka perayaan di tahun ini merupakan momentum yang paling berharga.

“Betapa tidak, rasa persatuan dan kebersamaan seakan mulai terkoyak belakangan ini. Nilai kemanusiaan seakan mulai kehilangan makna. Sebagian mulai berani menampilkan sebuah identitas dengan memusuhi identitas lain. Memutarbalikkan fakta dan kebenaran untuk sebuah motif tertentu,” bebernya.

Menurut Liando, pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak bisa dikendalikan menyebabkan terjadinya persaingan dalam perebutan kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, lahan tinggal, lapangan pekerjaan, sarana transportasi, layanan pendidikan dan kesehatan.

“Sejumlah peristiwa kriminal terungkap motif  merampas lahan tinggal dan lahan usaha, merampok hanya karena sesuap nasi dan frustrasi karena kemacetan lalulintas. Kejahatan terjadi akibat pengangguran oleh sebab sulitnya mendapatkan pekerjaan,” ujarnya.

Dibeberkannya juga, banyak rakyat kecil terpaksa tidak terlayani dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan secara baik, karena fasilitas sangat terbatas.

Lanjutnya, pertambahan jumlah penduduk yang sulit terkendali, sesungguhnya tidak ada relevansinya dengan kewajiban penambahan jumlah jabatan publik. Namun kenyataannya, kondisi ini menjadi salah satu persoalan bangsa.

“Perebutan jabatan penting entah jabatan privat, publik, organisasi kemasyarakatan atau dalam jabatan-jabatan politik kerap berproses tidak manusiawi. Di sana ada persekongkolan, sogok menyogok, intimidasi, kolusi dan nepotisme. Ironinya, dalam hal perebutan jabatan keagamaan ditengarai kerap juga melakukan cara-cara demikian,” ungkapnya.

Ia melihat hal yang paling lumrah terjadi di arena perebutan jabatan-jabatan politik. Prilaku yang dilakonkan para politisi, seakan menyimpang jauh dari visi politik. Tapi menurutnya, yang ada hanya soal adu kelicikan.

“Perebutan kekuasan politik kerap dikotori dengan kebencian (hate speech), kebohongan, fitnah, adu domba, serta politik uang. Cara mendapatkan kekuasaan sama persis yang dilakukan atlet perenang gaya katak. Kedua tangan menyikut ke arah samping, kemudian dinaikkan ke atas dan berusaha meraih apa yang ada di atas untuk di dorong ke bawah. Sementara kepalanya dinaikkan ke atas dan kedua kakinya selalu menendang ke bawah,” paparnya.

Sehingga terjadi, pihak yang bisa merebut kekuasaan adalah pihak yang mampu mengolah berita bohong menjadi sebuah fakta. Sementara yang kalah adalah pihak yang belum profesional dalam mengelola kelicikan.

“Maka jadilah kontestasi kekuasaan hanya sebagai sarana adu kelicikan. Siapa yang tampil sebagai pemenang, tetap diterima, dipuji dan disanjung,” ujarnya.

Melihat hal itu, menurutnya perlu dicari cara memaksa untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar moral bagi setiap politisi dalam berburu kekuasan.

“Ideologi Pancasila harusnya melekat dan menjiwai setiap warga negara terutama bagi yang mengendalikan kekuasaan. Semangat untuk mendapatkan dan menjalankan kekuasan politik wajib mendasarkannya pada moral agama dan ketuhanan,” katanya.

“Agama selalu mengajarkan soal kebenaran, serta membedakannya dari kejahatan. Dengan Tuhan, tentu niat untuk mengorbankan dan memusnahkan ciptaan-Nya untuk sebuah ambisi kekuasan tentu tak perlu dilakukan,” sambung Liando.

Dia mengingatkan, bahwa politik Pancasila mengajarkan setiap manusia sederajat dalam pandangan siapapun. Tak semata hanya memberlakukannya secara adil, namun juga beradab.

“Bangsa yang kuat, bukanlah bangsa yang terpecah belah. Semangat para politisi meraih kekuasan tidak harus memporak-porandakan struktur sosial. Pancasila mengajarkan kita cara berdemokrasi dengan baik. Perbedaan pandangan tidak bisa luput dari demokrasi, karena demokrasi selalu identik dengan kompetisi,” ucapnya.

Namun demikian, Pancasila mendorong sikap perbedaan itu dengan cara musyawarah dan kekeluargaan.

“Hanya dengan musyawarah, maka sebuah pihak saling memahami perbedaan masing-masing. Menghindari musyawarah dalam setiap perbedaan kerap memicu konflik, adu domba, intervensi pihak ketiga serta memicu permusuhan sosial,” ujarnya.

Ia menegaskan, sifat hakiki bagi seorang politisi dalam mengendalikan kekuasaan adalah memperlakukan setiap orang secara adil.

“Kekuasaan itu tidak hanya untuk diri sendiri atau kelompok orang disekitarnya. Kekuasan itu harus dijadikan instrumen membuat kebijakan untuk memecahkan persoalan yang dialami semua orang,” tegas Liando.

Dikatakannya, banyak negara hancur berantakan, karena para penguasa tidak memberlakukan pihak yang dipimpin secara adil ketika sedang berkuasa.

“Tak perlu mencari literatur sampai ke negeri Cina. Cukup saja dengan memaknai dan mengimplentasikan Pancasila dalam setiap sikap, maka kita adalah pemimpin sebenarnya,” tandas Liando.

Penulis: Anugrah Pandey